Surat Terbuka untuk Pemerintah dari Mahasiswa FK UNTAD

Surat Terbuka untuk Pemerintah (Presiden, DIKTI dan Pemerintah daerah) dan Rektor


 
Palu, Juli 2014
Kepada YTH
Pemerintah (Presiden, DIKTI dan Pemerintah daerah) dan Rektor
           di-Tempat
 

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
 
Dengan hormat,
Menanggapi pembiayaan per semester untuk mahasiswa klinik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako, dimana terjadi perubahan yang tampak cukup signifikan dari sejumlah Rp 2.750.000,- menjadi Rp 9.160.000,- terhitung sejak bulan Juli 2014.


Saat ini sudah memasuki masa akhir pembayaran biaya semester atau SPP bagi mahasiswa Universitas Tadulako untuk periode 2014/2015 bulan Juli-Januari. Kami selaku mahasiswa klinik mahasiswa kedokteran Universitas Tadulako menyatakan bahwa beban biaya yang harus kami tanggung dengan jumlah sebagaimana tertera di atas cukup terasa memberatkan bagi sebagian besar di antara kami.

Sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 pada paragraf 4 :
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...”, maka sudah  selayaknya pendidikan akan menjadi prioritas pemerintah.

Fakultas Kedokteran saat ini telah berkembang menjadi sebuah fakultas dengan daya nilai jual yang tinggi dan seiring berkembangnya hal itu maka stigma masyarakat tentang mahasiswa kedokteran juga berkembang. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, Fakultas Kedokteran, dimanapun universitasnya merupakan fakultas dengan sekumpulan mahasiswa yang “berduit” yang dikenal dengan istilah kaum borjuis. Yah, tidak ada yang salah dengan istilah itu karena kitalah yang membentuk stigma itu. Namun apakah pendidikan kedokteran hanya menjadi milik “kaum borjuis” itu? Dalam sila kelima pada Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menyatakan secara tegas bahwa rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan salah satunya dalam bidang pendidikan. 

Kami sadar bahwa proses pendidikan juga membutuhkan biaya. Biaya untuk fasilitas, biaya tenaga pengajar, dan biaya lainnya yang dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan semuanya diperlukan, tetapi kami juga paham bahwa pemerintah tidak akan pernah tutup mata dengan kondisi ini. Pemerintah pasti selalu memikirkan segala yang terbaik agar rakyat Indonesia bisa menikmati pendidikan itu.

Kami teringat akan seorang anak tukang becak yang memperoleh gelar dokter di Universitas Gadjah Mada. Seorang anak dengan penghasilan orang tua sebesar 20-30 ribu perhari ini mampu mewujudkan mimpinya bahwa suatu saat dia bisa membantu orang lain tanpa pamrih, sebab ia pun pernah merasakan menjadi orang tidak mampu.

Berbagai hal telah diajarkan kami selama kami mengenyam pendidikan kedokteran ini. Nilai-nilai humanistik selalu dijejalkan dalam otak dan terutama dalam hati kami, agar kami senantiasa mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan kami. Keikhlasan adalah kata yang mutlak harus ada dalam hati kami. Nilai-nilai individualistik dan egoisme kami harus dikesampingkan karena bagi kami orang lain yang membutuhkan bantuan kami adalah prioritas bagi hidup kami, namun apakah beban biaya yang harus kami tanggung selama proses pendidikan ini akan mendidik kami menjadi orang-orang yang memiliki nilai keadilan sosial?

Kami sebagai calon dokter memiliki hasrat yang luhur ketika kami menempuh pendidikan kedokteran sejak pertama kali menginjakkan kaki kami di Kedokteran, yakni agar kami dapat mengabdi tanpa pamrih bagi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Kami memiliki sumpah, seperti yang terkandung dalam sumpah Hippocrates, bahwa

“.......... Dengan kemurnian dan dengan kesucian saya akan mempraktekkan Seni (Kedokteran) ini. Saya akan membantu orang yang sedang dalam penderitaan, ......... Kemanapun saya melangkah saya akan mendahulukan kepentingan orang sakit, dan tidak memberikan persetujuan atau kesediaan untuk melakukan kejahatan, ...........” 

Kita semua memahami bersama bahwa karakter individu seseorang ada yang terbentuk sejak ia lahir dan ada pula yang terbentuk karena lingkungannya yang membentuk karakternya, entah apakah ia akan menjadi karakter dengan sifat kepedulian  yang tinggi ataukah justru ia akan menjadi individu dengan sifat kepedulian yang rendah? Ketika kita melihat beban biaya pendidikan yang tinggi dan terasa sangat besar bagi sebagian besar di antara kami, maka jangan pernah menyalahkan kondisi jika melahirkan oknum-oknum dokter yang mungkin berpikir untuk memperkaya diri secara material, karena proses pendidikan tidak mengajarkannya demikian.
 

Sebagian besar di antara kami memiliki mimpi dan keinginan untuk memajukan daerah tempat kami menuntut ilmu, tetapi saat ini mimpi mungkin hanya sebatas kata yang sesuai dengan maknanya bahwa kami hanya bisa mewujudkannya melalui mimpi kami saat kami bisa tertidur karena beban biaya ini pada akhirnya harus memupuskan keinginan kami itu. Tingginya biaya pendidikan yang harus kami tanggung pada akhirnya menyeleksi kami bukan berdasarkan kemampuan dan motivasi baik kami untuk terus mengabdi pada masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tetapi berdasarkan banyak tidaknya uang yang orangtua kami miliki untuk terus membiayai kami sekolah hingga akhir proses pendidikan ini.
 

Kami pun berharap Anda sekalian sebagai pembuat kebijakan di Sulawesi Tengah untuk memperhatikan kami. Apakah Anda rela Fakultas Kedokteran negeri di Sulawesi Tengah diisi oleh orang-orang dari luar Sulawesi Tengah? Sekali lagi kami sampaikan bahwa anak-anak Sulawesi Tengah sangat mampu secara intelektual untuk menjadi Dokter, namun tidak mampu secara fiansial. Tengok saja daerah-daerah lain yang memperoleh dukungan penuh pemerintah daerahnya, adakah dari mereka yang tidak berprestasi di tingkat Nasional bahkan di tingkat Internasional? Apakah anak-anak bangsa mereka yang menjadi Dokter yang biasa-biasa saja? Mereka sebagian besar menggunakan anak-anak daerah mereka untuk mengabdi bagi daerah mereka, sebab siapa lagi yang peduli terhadap daerah kecuali anak-anak daerah mereka sendiri? Adakah Sulawesi Tengah dapat dibangun secara optimal oleh anak-anak daerah lain? Ketika pemerintah daerah memperhatikan mereka, kami percaya mereka akan berjuang dengan sekuat tenaga tanpa pamrih untuk membangun daerah ini.

Ketika proses pendidikan mengajarkan seorang dokter menjadi seorang “pedagang” maka ketika dalam proses pendidikannya ia sedang membeli “barang" yang mahal maka sudah tentu jika ia telah menyelesaikan proses pendidikan ini, maka ia kembali akan menjual “barang” ini dengan harga yang setimpal pula, hingga stigma masyarakat mengenai biaya kesehatan mahal tidak akan pernah berubah. Masyarakat akan takut berobat ke dokter karena biaya yang harus mereka tanggung sangat besar. Apakah kita membutuhkan calon dokter dengan pemikiran seperti ini?.

Tentunya dari hati nurani bapak/ibu tidak menginginkannya dan bahkan akan mengutuk jika terjadi hal-hal seperti ini. Tetapi apakah hal ini menjadi kesalahan mereka sepenuhnya? Jawabannya tetap tidak, karena proseslah yang membentuk mereka pada akhirnya berpikir seperti itu dan ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam membentuk karakter ini.
 

Bagaimana pula dengan orangtua kami? Tidak ada seorang orangtuapun yang ingin melihat harapan anaknya pupus di tengah jalan. Para orangtuapun akan berjuang agar anaknya tetap melanjutkan proses pendidikannya tetapi apakah dengan menjual seluruh harta benda yang kami miliki, meminjam uang kesana-kemari akan menjadi solusi dari biaya pendidikan kami. Untuk sementara yah, tetapi selanjutnya bagaimana? Biaya hidup bukan hanya semata-mata pembiayaan Ko-Ass kami, ada banyak hal yang mesti dibiayai. Biaya hidup sehari-hari, belum lagi kami yang merantau sudah tentu biaya hidup bertambah, dan kami bukanlah anak semata wayang yang segalanya diprioritaskan pada kami. Kami juga punya adik, punya kakak yang masih melanjutkan studi yang juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
 

Apakah tidak ada harapan bagi kami untuk melanjutkan studi kami ini. Kami yang bermimpi dan bercita-cita untuk memajukan kesehatan di daerah kami harus mengubur mimpi kami karena kami tidak sanggup membayar biaya pendidikan kami yang tiba-tiba harus naik di tengah jalan. Kami tau dan paham bahwa pemerintah 
kami, tidak akan pernah menutup mata untuk hal ini dan selalu akan berjuang mencari solusi buat masalah kami. 

Menutup surat terbuka ini, kami teringat akan kisah dr. Lo Siaw Ging yang mengobati pasiennya secara gratis, serta dr. F. X. Soedanto yang hanya dibayar seribu rupiah oleh pasiennya. Kami memiliki cita-cita untuk menjadi dokter dengan pengabdian tinggi seperti mereka. Mereka adalah role model kami sebagai calon dokter. Tidak pernahkah terbesit di pikiran Anda bahwa Sulawesi Tengah memiliki ratusan orang dengan cita-cita luhur seperti mereka? Kami berharap bahwa kami pun juga dapat menjadi dokter yang mengabdi tanpa pamrih seperti mereka.
 

Terimakasih karena Bapak/Ibu mau membaca surat kami dan kami akan sangat berterimakasih karena Bapak/Ibu tidak akan tinggal diam untuk masalah kami ini.

Wassalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh .


Salam Hangat,
Dokter Muda

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako
READ MORE